Sabtu, 12 Desember 2009

Halaqoh: Sarana Transformasi Diri



Bismillaahirrahmaanirrahiim..

Dahulu, saya kurang begitu mengerti dan paham apa yang dimaksud dengan halaqoh. Sampai pada akhirnya saya diperkenalkan dengan istilah tersebut  oleh kakak saya yang notabene adalah seorang aktivis dakwah kampus di salah satu universitas negeri di Jakarta. Berhubung kakak saya adalah seorang akhowat, sehingga proses halaqah pun tidak bisa di-handle secara langsung olehnya melainkan sengaja dipercayakan kepada temannya, Iwan Ridwan namanya. Ya, dialah murabbi pertama saya, seorang ustadz yang mengenalkan kepada saya apa itu halaqoh dan urgensinya. Sejak saat itulah, nuansa baru mulai terasa, sedikit-demi-sedikit mulai terasa berbeda, perbedaan menuju perbaikan tentunya. Hari-hari saya mulai terasa lebih berwarna dengan pancaran cahaya islam dan ketakwaan serta keimanan kepada Allah SWT dengan berbagai tausyiah dan pemahaman-pemahaman terkait keislaman dan ruang lingkupnya.

Saya mulai mengenal halaqoh sejak kelas 2 SMA, maklum disekolah saya memang tidak ada rohis karena background sekolah saya adalah sekolah islam alias Madrasah ‘Aliyyah sehingga tidak ada yang namanya mentoring ataupun sejenisnya. Dengan alasan semua materi keislaman sudah dipelajari dibeberapa mata pelajaran seperti Fiqh, Qur’an Hadits, Aqidah Akhlaq dan SKI (Sejarah Kebudayaan Islam). Selang beberapa tahun_kurang lebih 1,5 tahun_bersama bang Iwan_begitu saya memanggil beliau_banyak hal yang diajarkan dan menjadi pelajaran yang penting terkait halaqoh dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Karena menurut saya, halaqoh itu memang ilmu terapan bukan sekedar hafalan maupun pemahaman semata. Dari sini saya mulai membuka mata, hati dan bahkan fikiran, ternyata banyak sekali manfaat dari halaqoh itu sendiri. Mulai dari sarana silaturrahim, menimba ilmu bahkan sebagai sarana berbagi permasalahan diri. Alhamdulillah, manfaat ini dapat saya rasakan sampai saya kelas 3 dan bahkan proses halaqoh pun terus berlanjut hingga hampir menjelang kelulusan saya di SMA.

Fase-fase transisi dari SMA ketingkat Perguruan Tinggi mulai saya persiapkan, mulai dari persiapan menghadapi UAN sampai termasuk didalamnya ialah persiapan mengikuti berbagai macam tes masuk PTN. Berbagai macam ujian masuk saya ikuti, mulai dari SIMAK UI, UTUL UGM, BUD Depag ke ITB, PMDK UPI, PMDK UNJ dan terakhir USMI IPB. Tapi semuanya nihil, kecuali PMDK UNJ dan USMI IPB. Di UNJ sendiri ternyata ada tes lanjutan dari berkas-berkas calon mahasiswa yang lolos seleksi, sedangkan di IPB tidak. Akhirnya dengan pertimbangan matang saya putuskan untuk memilih IPB sebagai tempat transit saya untuk lebih dalam lagi menyelami samudera ilmu yang saya pilih selama beberapa tahun kedepan. Sejak saya tahu bahwa saya diterima di salah satu kampus terbaik negeri ini, yaitu IPB. Saya mulai mempersiapkan surat perpindahan halaqoh saya ke IPB atau sering disebut surat Mutasi itupun atas rekomendasi dari kaka kelas saya yang lebih dahulu melanjutkan studinya di IPB, ka Saiful Bahri namanya. Beliau adalah kakak kelas saya sewaktu di SMA, yang merupakan salah satu orang yang sedikit-banyak telah menginspirasi saya semasa disekolah. Ya, beliau adalah seorang siswa berprestasi dizamannya dengan segala keterbatasannya yang dimiliki. Seperti halnya pendatang baru di dunia yang baru, tentu pada awalnya saya tidak begitu mengerti apa itu surat Mutasi. Namun belakangan saya mulai mengerti ternyata surat itu merupakan surat “pindah tugas” saya sebagai calon kader dakwah dimasa yang akan datang. Berkat beliau pulalah saya dapat melanjutkan halaqoh ini sampai sekarang. Karena memang, yang namanya proses halaqoh itu tidak hanya sebagai program pendidikan karakter setahun dua tahun saja, tapi lebih dari itu. Karena yang namanya proses belajar dan mengajar, dididik dan mendidik itu merupakan kewajiban kita sebagai umat muslim dari sejak lahir sampai usia akhir.

Banyak manfaat halaqoh yang sudah saya rasakan. Baik dari segi pemikiran (Fikriyah) maupun kepribadian (Sakhsiyyah). Secara pemikiran, hal yang saya dapatkan diantaranya ialah meningkatnya tsaqofah islamiyah saya baik secara konvensional maupun kontemporal. Sedangkan dari segi kepribadian, yang saya dapatkan dari kegiatan halaqoh adalah terbentuknya suatu karakter kesolehan pribadi yang tercermin dari tutur kata, tingkah laku bahkan aktivitas-aktivitas kita sehari-hari yang sebisa mungkin didasarkan serta disesuaikan kepada syariat islam yang mengatur segala sendi kehidupan. Sehingga akan terbentuk suatu pola tingkah laku yang islami dan dapat memberikan teladan yang baik bagi diri sendiri, teman, keluarga, kerabat dan lebih luas lagi bagi lingkungan sekitar kita. Halaqoh bagi saya ibarat sebuah oase ditengah keringnya padang gurun keimanan. Oase iman diantara keringnya padang hedonisme yang membentang disetiap tempat sejauh mata memandang. Tentu semua itu hanyalah sebagai tolok ukur kemampuan kita dalam menyikapi dan memilah serta memilih mana yang baik untuk dilakukan dan mana yang buruk untuk ditinggalkan.

Halaqoh bukan hanya semata-mata tempat pelarian saya dalam mencari perlindungan Allah dari segala godaan dan cobaan. Tapi lebih dari itu, disini saya dapat merasakan indahnya kebersaman, ukhuwah yang erat terjalin bersama kawan sesama ikhwan, ilmu dan pemahaman tentang keislaman serta tempat berbagi dan memecahkan segala permasalahan. Halaqoh yang saya temukan disini ibarat sebuah ‘Usrah atau keluarga. Ada fungsi saling menjaga, ada pula fungsi saling memiliki bahkan fungsi nasihat-menasihati. Fungsi menjaga tidak hanya sekedar menjaga sesama saudara dari segala mara bahaya, namun yang lebih mulia adalah menjaga aib sesama kita. Memiliki pun tidak hanya sekedar memiliki, saling melindungi menjadi kunci kuatnya rasa ini. Nasihat-menasihati menjadi sebuah habit yang sudah tertanam sejak diri ini mengenal halaqoh beserta urgensinya. Dari rasa inilah yang kemudian menjadi dasar atas kekuatan ukhuwah yang sudah terbina. Ibarat sebuah keluarga, disini saya dibina dan dididik untuk menjadi seorang muslim yang memiliki sakhsiyyah islamiyyah. Tanggungjawab sebagai sesama “keluarga” untuk saling menjaga dari “api neraka” menjadi tugas mulia dan utama, serta menjadi tantangan tersendiri dalam merajut dan memperkuat ikatan ukhuwah diantara kita. Sejauh ini, manfaat inilah yang saya rasakan dalam halaqoh. Pahit-manis ditanggung bersama, susah-senang dirasa bersama dan berat-ringan dipikul bersama. Itulah makna halaqoh yang saya dapat selama ini. Benar kata orang, 

“Tarbiyah (Halaqoh) bukanlah segala-galanya, tapi segala-galanya bisa bermula dari Tarbiyah.”

InsyaAllah..

Wallahua’lam bihsshowab.

World Clock