Bismillaahirrahmaanirrahiim..
Dahulu, saya kurang begitu mengerti dan paham apa yang dimaksud
dengan halaqoh. Sampai pada akhirnya saya diperkenalkan dengan istilah tersebut
oleh kakak saya yang notabene adalah
seorang aktivis dakwah kampus di salah satu universitas negeri di Jakarta. Berhubung
kakak saya adalah seorang akhowat, sehingga proses halaqah pun tidak
bisa di-handle secara langsung olehnya melainkan sengaja dipercayakan
kepada temannya, Iwan Ridwan namanya. Ya, dialah murabbi pertama
saya, seorang ustadz yang mengenalkan kepada saya apa itu halaqoh dan
urgensinya. Sejak saat itulah, nuansa baru mulai terasa, sedikit-demi-sedikit
mulai terasa berbeda, perbedaan menuju perbaikan tentunya. Hari-hari saya mulai
terasa lebih berwarna dengan pancaran cahaya islam dan ketakwaan serta keimanan
kepada Allah SWT dengan berbagai tausyiah dan pemahaman-pemahaman terkait
keislaman dan ruang lingkupnya.
Saya mulai mengenal halaqoh sejak kelas 2 SMA, maklum disekolah
saya memang tidak ada rohis karena background sekolah saya adalah
sekolah islam alias Madrasah ‘Aliyyah sehingga tidak ada yang namanya mentoring
ataupun sejenisnya. Dengan alasan semua materi keislaman sudah dipelajari
dibeberapa mata pelajaran seperti Fiqh, Qur’an Hadits, Aqidah Akhlaq dan SKI
(Sejarah Kebudayaan Islam). Selang beberapa tahun_kurang lebih 1,5
tahun_bersama bang Iwan_begitu saya memanggil beliau_banyak hal yang
diajarkan dan menjadi pelajaran yang penting terkait halaqoh dan aplikasinya
dalam kehidupan sehari-hari. Karena menurut saya, halaqoh itu memang ilmu
terapan bukan sekedar hafalan maupun pemahaman semata. Dari sini saya mulai
membuka mata, hati dan bahkan fikiran, ternyata banyak sekali manfaat dari
halaqoh itu sendiri. Mulai dari sarana silaturrahim, menimba ilmu bahkan
sebagai sarana berbagi permasalahan diri. Alhamdulillah, manfaat ini dapat saya
rasakan sampai saya kelas 3 dan bahkan proses halaqoh pun terus berlanjut
hingga hampir menjelang kelulusan saya di SMA.
Fase-fase transisi dari SMA ketingkat Perguruan Tinggi mulai saya
persiapkan, mulai dari persiapan menghadapi UAN sampai termasuk didalamnya
ialah persiapan mengikuti berbagai macam tes masuk PTN. Berbagai macam ujian
masuk saya ikuti, mulai dari SIMAK UI, UTUL UGM, BUD Depag ke ITB, PMDK UPI,
PMDK UNJ dan terakhir USMI IPB. Tapi semuanya nihil, kecuali PMDK UNJ dan USMI
IPB. Di UNJ sendiri ternyata ada tes lanjutan dari berkas-berkas calon
mahasiswa yang lolos seleksi, sedangkan di IPB tidak. Akhirnya dengan
pertimbangan matang saya putuskan untuk memilih IPB sebagai tempat transit saya
untuk lebih dalam lagi menyelami samudera ilmu yang saya pilih selama beberapa
tahun kedepan. Sejak saya tahu bahwa saya diterima di salah satu kampus terbaik
negeri ini, yaitu IPB. Saya mulai mempersiapkan surat perpindahan halaqoh saya
ke IPB atau sering disebut surat Mutasi itupun atas rekomendasi dari kaka kelas
saya yang lebih dahulu melanjutkan studinya di IPB, ka Saiful Bahri
namanya. Beliau adalah kakak kelas saya sewaktu di SMA, yang merupakan salah
satu orang yang sedikit-banyak telah menginspirasi saya semasa disekolah. Ya,
beliau adalah seorang siswa berprestasi dizamannya dengan segala
keterbatasannya yang dimiliki. Seperti halnya pendatang baru di dunia yang
baru, tentu pada awalnya saya tidak begitu mengerti apa itu surat Mutasi. Namun
belakangan saya mulai mengerti ternyata surat itu merupakan surat “pindah
tugas” saya sebagai calon kader dakwah dimasa yang akan datang. Berkat beliau
pulalah saya dapat melanjutkan halaqoh ini sampai sekarang. Karena memang, yang
namanya proses halaqoh itu tidak hanya sebagai program pendidikan karakter
setahun dua tahun saja, tapi lebih dari itu. Karena yang namanya proses belajar
dan mengajar, dididik dan mendidik itu merupakan kewajiban kita sebagai umat
muslim dari sejak lahir sampai usia akhir.
Banyak manfaat halaqoh yang sudah saya rasakan. Baik dari segi
pemikiran (Fikriyah) maupun kepribadian (Sakhsiyyah). Secara
pemikiran, hal yang saya dapatkan diantaranya ialah meningkatnya tsaqofah
islamiyah saya baik secara konvensional maupun kontemporal. Sedangkan dari
segi kepribadian, yang saya dapatkan dari kegiatan halaqoh adalah terbentuknya
suatu karakter kesolehan pribadi yang tercermin dari tutur kata, tingkah laku
bahkan aktivitas-aktivitas kita sehari-hari yang sebisa mungkin didasarkan
serta disesuaikan kepada syariat islam yang mengatur segala sendi kehidupan.
Sehingga akan terbentuk suatu pola tingkah laku yang islami dan dapat memberikan
teladan yang baik bagi diri sendiri, teman, keluarga, kerabat dan lebih luas
lagi bagi lingkungan sekitar kita. Halaqoh bagi saya ibarat sebuah oase
ditengah keringnya padang gurun keimanan. Oase iman diantara keringnya
padang hedonisme yang membentang disetiap tempat sejauh mata memandang. Tentu
semua itu hanyalah sebagai tolok ukur kemampuan kita dalam menyikapi dan
memilah serta memilih mana yang baik untuk dilakukan dan mana yang buruk untuk
ditinggalkan.
Halaqoh bukan hanya semata-mata tempat pelarian saya dalam mencari
perlindungan Allah dari segala godaan dan cobaan. Tapi lebih dari itu, disini
saya dapat merasakan indahnya kebersaman, ukhuwah yang erat terjalin bersama
kawan sesama ikhwan, ilmu dan pemahaman tentang keislaman serta tempat berbagi dan
memecahkan segala permasalahan. Halaqoh yang saya temukan disini ibarat sebuah ‘Usrah
atau keluarga. Ada fungsi saling menjaga, ada pula fungsi saling memiliki
bahkan fungsi nasihat-menasihati. Fungsi menjaga tidak hanya sekedar menjaga
sesama saudara dari segala mara bahaya, namun yang lebih mulia adalah menjaga
aib sesama kita. Memiliki pun tidak hanya sekedar memiliki, saling melindungi
menjadi kunci kuatnya rasa ini. Nasihat-menasihati menjadi sebuah habit
yang sudah tertanam sejak diri ini mengenal halaqoh beserta urgensinya. Dari rasa
inilah yang kemudian menjadi dasar atas kekuatan ukhuwah yang sudah terbina. Ibarat
sebuah keluarga, disini saya dibina dan dididik untuk menjadi seorang muslim
yang memiliki sakhsiyyah islamiyyah. Tanggungjawab sebagai sesama “keluarga”
untuk saling menjaga dari “api neraka” menjadi tugas mulia dan utama, serta
menjadi tantangan tersendiri dalam merajut dan memperkuat ikatan ukhuwah
diantara kita. Sejauh ini, manfaat inilah yang saya rasakan dalam halaqoh.
Pahit-manis ditanggung bersama, susah-senang dirasa bersama dan berat-ringan
dipikul bersama. Itulah makna halaqoh yang saya dapat selama ini. Benar kata
orang,
“Tarbiyah (Halaqoh) bukanlah segala-galanya, tapi segala-galanya bisa bermula dari Tarbiyah.”
“Tarbiyah (Halaqoh) bukanlah segala-galanya, tapi segala-galanya bisa bermula dari Tarbiyah.”
InsyaAllah..
Wallahua’lam
bihsshowab.