Puji syukur senantiasa kita
panjatkan kepada Allah swt, atas segala nikmat yang telah dianugerahkan-NYA.
Shalawat serta salam pun senantiasa terlimpah curah kepada Nabi Muhammad saw
beserta keluarga, sahabat dan tabi’it-tabi’in hingga kepada kita semua selaku
pengikutnya sampai yaumil akhir. Amien InsyaAllah.
Berbicara tentang nikmat, salah
satu dari sekian banyak nikmat terbesar yang Allah anugerahkan kepada kita
diantaranya ialah nikmat bersilaturrahim. Silaturrahim merupakan nikmat yang
terkadang tidak kita sadari manfaatnya baik secara langsung ataupun tidak
langsung. Padahal, silaturrahim sendiri merupakan suatu hal yang sifatnya wajib
bagi kita yang mengaku sebagai insan sosial. Insan yang menghargai hidup dan
makhluk hidup dalam lingkaran kehidupan. Kita dulu dilahirkan, kemudian hidup
dan menjalani kehidupan. Hidup tidak hanya untuk beribadah kepada Allah swt,
atau bahasa kerennya Hablum minallah saja. Hubungan kita secara vertikal
dengan sang Maha Pencipta. Allah menciptakan kita lengkap dengan
pernak-perniknya. Tentunya jika kita sadari, sesungguhnya ada alasan lain
dibalik penciptaan manusia yang beraneka suku, ras dan warna. Pun dengan
keberadaan kita ditengah-tengah makhluk Allah yang beraneka ragam diseluruh
dunia. Walaupun memang tujuan Allah menciptakan makhluk-NYA tidak lain dan
tidak bukan memang untuk beribadah. Tetapi perlu disadari kembali, ibadah
disini masilah bersifat umum maknanya. Dalam Al Qur’an pun Allah tidak hanya
menyebutkan shalat_sebagai perwujudan hubungan kita dengan Allah secara
langsung_sebagai ibadah utama kita, akan tetapi selalu disambung dengan
perintah menunaikan zakat. Dan zakat inilah yang menjadi perwujudan takwa kita
kepada Allah melalui kepedulian kita terhadap sesama serta fungsi kita sebagai
manusia yang mengasihi manusia lainnya. Intinya, apapun macam aktivitas kita,
jika hal demikian disandarkan hanya kepada Allah, insyaAllah semuanya akan
bernilai ibadah. Nah, begitu pula dengan aktivitas kita yang satu ini,
bersilaturrahim.
Sudah menjadi hakikat
kita sebagai makhluk sosial untuk senantiasa bergaul dengan lingkungan sekitar,
bersilaturrahim mengikat tali persaudaraan, agar senantiasa dapat mewujudkan
suatu tatanan hidup yang harmonis antar sesama makhluk. Hablum minannaas
istilahnya. Suatu hubungan horizontal kita dengan sesama. Bayangkan jika kita
sebagai makhluk individu yang tidak pernah mau bersilaturrahim dengan
makhluk-makhluk disekitar kita. Niscaya, hidup akan terasa hampa dan menderita.
Tidak ada yang peduli dan memperhatikan kita. Di dunia yang luas ini serasa
tidak ada tempat untuk kita berbagi permasalahan meskipun hanya sekedar
bercerita. Miris jika hal itu benar-benar sampai terjadi. Oleh karenanya,
silaturrahim menjadi suatu syarat mutlak kita untuk hidup dan menjadi makhluk
hidup di dunia ini. Tanpa berpanjang lebar lagi, berikut akan coba saya
ceritakan pengalaman saya terkait hikmah dan manfaat bersilaturahim.
Dimulai dari pulang kampung
(mudik). Sedikit berbicara tentang pulang kampung, nampaknya pulang kampung
sudah menjadi suatu tradisi dan kewajiban bagi sebagian orang, terutama bagi
mereka para pendatang atau para perantau dinegeri orang. Tidak ada batasan
waktu sebenarnya bagi mereka yang ingin pulang kampung. Tidak ada syarat khusus
pula bagi mereka yang ingin melaksanakan niatan tersebut. Toh pada kenyataannya
sah-sah saja bagi mereka yang hendak pulang kampung dihari-hari biasa atau
disaat libur pekan sekalipun. Namun, biasanya kebanyakan orang mengagendakan
untuk pulang kekampung halamannya ketika hendak menjelang libur Ramadhan tiba.
Terutama bagi mereka yang sudah menetap disuatu tempat baru dalam kurun waktu
yang cukup lama. Alasan utama mereka untuk pulang kampung biasanya ialah untuk
melepas rasa rindu setelah sekian lama tidak bertemu dengan sanak keluarga
dikampung, sekaligus silaturahim dengan tetangga atau bahkan bertemu dengan
kawan lama semasa TK, SD, SMP maupun SMA.
Berbicara pulang kampung, bagi
saya sendiri mudik atau pulang kampung bukanlah hal yang serius untuk
diagendakan seperti halnya sebagian orang. Hampir setiap pulang kampung_sampai
saat ini pun_saya tidak memiliki cerita-cerita unik, lucu, sedih, atau pahit
sekalipun selama perjalanan mudik yang saya lakukan, yang bisa saya bagikan
kepada kawan-kawan atau keluarga dirumah. Semuanya berjalan seperti biasa,
seiring dengan lalu-lalang pengguna jalan dan perjalanan bus yang saya
tumpangi. Ya, mengalir begitu saja. Hampir tiap bulannya atau tiga minggu
sekali saya selalu pulang kampung atau lebih sederhananya saya bilang
pulang ke rumah. Daerah tempat asal saya tinggal yang tidak cukup jauh dengan
daerah yang saya tinggali sekarang ini menjadi alasan utamanya. Saya tinggal di
daerah persawahan diutara pantai Tangerang, tepatnya di desa Gintung Kecamatan
Sukadiri Kabupaten Tangerang. Sementara selama kuliah, saya tinggal di daerah
Babakan Lio (Balio) Kelurahan Balumbang jaya Kabupaten Bogor Barat, tepat di
lingkungan sekitar kampus IPB Darmaga tempat dimana saya menuntut ilmu
sekarang. Jarak Bogor–Tangerang yang tidak cukup jauh_sekitar tiga sampai empat
jam perjalanan_menjadikan mudik hanya sebagai aktivitas dan rutinitas yang
biasa-biasa saja, ya nothing special lah.
Terlepas dari realitas mudik
yang saya alami. Silaturahim tahun ini menjadi silaturahim paling berkesan bagi
saya. Untuk pertama kalinya saya bisa berkumpul bersama dengan teman-teman
saya, teman-teman satu daerah tentunya. Padahal sudah tiga tahun lebih kami
kuliah ditempat yang sama. Tapi baru sekali ini kami bisa berkumpul bersama,
saling men-jaulah-i tempat tinggal saya dan mereka. Ya, mungkin salah
satu penyebabnya karena kesibukan kami masing-masing yang membatasi kesempatan
kami untuk berkumpul bersama meski hanya sekedar berbagi cerita dan tawa.
Aang, Aziz, Mulyadi,
Roni, Fajar, Syahrir, Cira dan Lina. Mereka
adalah teman-teman seperjuangan saya di IPB. Setelah kurang lebih tiga tahun
mengenal mereka, baru kemarin saya bisa berkunjung langsung kerumah mereka.
Mengetahui kondisi keluarga dan tentunya kondisi ekonomi mereka. Serta yang
paling utama adalah dapat mengenal dan menyambung tali silaturahim dengan
keluarga mereka. Maklum, daerah saya memang daerah yang memiliki tingkat
pendapatan menengah kebawah. Mata pencaharian warga kami pun rata-rata hanya
sebagai petani sawah, sisanya buruh pabrik dan tidak sedikit pula dari meraka
adalah para pekerja serabutan dan bahkan pengangguran. Walaupun sebenarnya ada
juga dari warga kami yang telah “berada” dari segi materi dan tentunya jumlah
mereka sudah pasti terhitung oleh jari. Ya, mereka hanya sebagai pencilan dari
rataan kondisi ekonomi masyarakat didaerah saya. Diluar kondisi itu semua, saya
menemukan suatu kebahagiaan yang mungkin tidak bisa dicari ataupun dibeli hanya
dengan bermodalkan materi. Keramahtamahan, kerukunan, dan kesederhanaan serta
semangat berbagi mereka menjadi penilaian dan kebanggaan tersendiri bagi saya.
Memang benar orang bilang, kebahagiaan itu tidak bisa diukur dengan materi.
Materi hanya sebagian kecil dari indikator kebahagiaan, namun bukan menjadi hal
yang utama dan diprioritaskan.
Dari teman-teman saya, saya
belajar arti sebuah kesederhanaan dan kebersamaan. Hal itu dibuktikan ketika
saya berkunjung kerumah mereka satu persatu. Melihat kondisi keluarga dan rumah
mereka, jujur saya takjub sekaligus bangga bisa mengenal mereka. Sama sekali
tidak ada perasaan minder, malu ataupun sejenisnya terlihat dari wajah mereka,
hal itu tertutupi oleh rasa kesyukuran mereka dalam menerima segala karunia
dari Allah swt. Dan yang membuat saya lebih bangga lagi adalah tentang
kedermawanan mereka. Ternyata, meskipun teman-teman saya hidup serba apa
adanya, mereka tetap selalu memprioritaskan dan memuliakan setiap tamu yang
datang. Satu pelajaran lagi yang bisa saya ambil hikmahnya. Dari satu rumah
kerumah yang lain, pasti selalu disuguhkan makanan. Tidak hanya makanan ringan
seperti kue-kue lebaran tapi bahkan makanan berat pun mereka suguhkan. Tak ayal
jika sepulang silaturrahim dari rumah teman-teman saya, saya begitu merasa
kekenyangan. Jika diawal silaturahim perut saya terasa keroncongan, sepulang
silaturahim perut saya malah terasa kekenyangan. Ya, silaturrahim ba’da lebaran
memang silaturrahim yang menyenangkan dan mengenyangkan. Alhamdulillah.
Nah kawan, cukup sampai disini
sekelumit kisah pribadi yang sedikit-banyak mungkin bisa diambil hikmahnya,
baik oleh diri pribadi maupun kawan-kawan sekalian. Benar sekali apa yang
diucapkan oleh Nabi, “Silaturrahim mendekatkan kepada Rizki”. Hal ini
tentunya sudah saya rasakan sendiri. Indah rasanya jika dunia ini dipenuhi
dengan berbagai macam warna. Warna-warni kehidupan tanpa mempermasalahkan
setiap perbedaan. Lebih indah lagi jika warna tersebut saling
“bersilaturrahim”, saling bersatu membentuk satu kesatuan, saling
erat-mengeratkan membentuk indahnya warna pelangi kehidupan. Hingga terpancar
semburat warna me-ji-ku-hi-bi-ni-u dalam background langit
biru muda yang berkolaborasi dengan indahnya senyum jingga keemasan sang surya
diufuk timur bumi Indonesia. Saya yakin, dan InsyAllah semua itu bisa!