Rabu, 07 Agustus 2013

Sebuah Pengakuan


"Al Insaan huwal makaanul khatta’ wan nishyaan...”
(Manusia adalah tempatnya salah dan lupa)

          Malam ini, masih disini dan masih terjaga. Entah kenapa dinginnya hawa malam dan rasa kantuk yang sedari tadi menggelayuti pelupuk mata, kini terasa hilang begitu saja. Hampir sejam diri ini termenung. Melamun, menerawang, mengawang dalam ruang pikiran. Sambil kedua tangan setia menopang kepala yang seakan terasa berat tertambah beban maksiat. Berat karena berbagai permasalahan ada didalam. Berat memikirkan segala macam amanah yang diemban dengan segala macam pertanggungjawaban, yang kelak diminta dihari pembalasan dihadapan Tuhan. Ada sebongkah permasalahan yang tertanam dalam fikiran, ada segudang perasaan bersalah dalam hati yang terasa semakin membuncah. Rasanya,, sudah biasa jika hal ini muncul tiba-tiba. Tapi, kali ini terasa berbeda, entah dimana letak perbedaanya dengan perasaan sebelumnya. Hingga pada akhirnya, diujung sedih yang semakin menjadi. Berlinanglah buliran air mata, meruah dipuncak lamunan dalam kesunyian malam. Membasahi pipi yang sedari tadi menjadi tumpuan kedua tangan.        

          Sambil air mata ini mengalir, sambil itu pula hati ini senantiasa beristighfar, mengalun pelan diperkuat dengan iringan lagu syahdu nan sendu, “I’tiraf”. Sebuah syair tentang pengakuan (I’tiraf) diri seorang hamba kepada Sang Maha Pencipta atas segala salah dan dosa yang senantiasa diperbuat. Sebuah syair yang dapat membius hati, bahkan menstimulus rasa duka dan hina ketika sang hamba berhadapan dengan Pencipta-Nya. Duka karena belum bisa menjadi hamba yang bertakwa, hina karena senantiasa berbuat dosa. Yaa Allah yaa ‘Aziiz, sungguh lemah hamba dihadapan-Mu, tak kuat diri ini memikul beratnya dosa-dosa hamba.

Ilaahi lastu lilfirdausi ahlan
(Wahai Tuhan, ku tak layak ke Syurga-Mu) 
Walaa aqwaa 'alannaaril jahimi
(Namun aku tidak sanggup ke Neraka-Mu) 
Fahabli taubatan waghfir dzunuubi
(Terimalah taubatku dan ampuni segala dosaku) 
Fa innaka ghoofiruddzambil 'adziimi
(Sesungguhnya Engkaulah pengampun dosa-dosa besar) 

Dzunuubi mitslu a'daadir rimaali
(Dosa-dosaku bagaikan pepasir di pantai) 
Fahablii taubatan yaa dzaljalaali
(Terimalah taubatku Wahai Tuhan yang Maha Tinggi) 
Wa'umrii naaqishun fiikulliyaumi
(Dan usiaku berkurang setiap hari) 
Wa dzambii zaa-idum kaifahtimali
(Dan dosaku pula bertambah setiap masa) 

Ilaahi 'abdukal 'aashi ataak
(Tuhanku, hamba-Mu yang sering melakukan maksiat telah datang kepada-Mu) 
Muqirron biddzunuubi waqod da'aak
(Senantiasa Berbuat dosa, dan sesungguhnya telah berdoa kepada-Mu) 
Fa in taghfir fa anta lidzaaka ahlun
(Jika Kau ampunkan, maka itu hak-Mu) 
Wa in tadrud faman narjuu siwaaka
(Dan jika Kau tinggalkan, maka siapa lagi yang hendak kami harapkan seperti-Mu)

          Meresapi syair, memaknai arti diri disetiap dzikir. Sungguh... Seketika itu pula diri ini terdiam, dan tiba-tiba terbesit dalam fikiran, “Bagaimana jika malam ini adalah malam terakhir hamba? Sementara diri ini masih senantiasa berbuat dosa?” Umur yang semakin berkurang, namun dosa-dosa malah semakin bertambah. Ya Allah, begitu bergelimangannya dosa yang telah hamba lakukan. Dosa-dosa kepada-Mu maupun kepada sesama makhluk-Mu. Sementara diri ini masih belum bisa bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat, memohon ampun kepada-Mu dan kepada seluruh makhluk-Mu yang pernah tersakiti maupun disakiti, baik fisiknya, fikirannya atau bahkan hatinya.

          Akhii... Ukhtiii... Sahabat sekalian, rasanya banyak sekali kealpaan yang telah diri ini lakukan. Sakit yang kalian derita atas tingkah dan laku diri ini mungkin sudah tak tertahankan lagi. Pilu yang menyayat qolbu atas ucapan yang pernah terlontar mungkin saja sudah terobati, tapi bekas luka yang timbul mungkin tak kan pernah hilang, sampai kapanpun. Oleh karenanya, diri ini menghaturkan maaf sedalam qolbu. Sebagaimana diri ini pernah pula menanam luka didalam qolbu.

"Pintu ampunan Allah akan senantiasa terbuka bagi hamba-hambanya yang bertaubat atas segala maksiat yang telah diperbuat."

          Namun, sangat diri ini sadari bahwa ampunan Allah takkan sampai kehadapan, jika kalian tak memaafkan. Karena keikhlasan kalian dalam memaafkan adalah kunci diri ini mendapat ampunan. Maafkan dari segala khilaf dan salah wahai sahabat sekalian, atas segala dosa yang telah diri ini lakukan. Sesal yang timbul bukan karena mengenal kalian, tapi karena diri ini tak pandai memanfaatkan kesempatan. Kesempatan untuk membahagiakan kalian, walau hanya sekedar melihat senyuman dari wajah kalian.


'Afwan.....
Sabtu, 1:30 am
Sya'ban 20, 1434 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

World Clock