Kamis, 08 Agustus 2013

Silaturrahim Ba’da Lebaran: Menyenangkan dan Mengenyangkan


Puji syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah swt, atas segala nikmat yang telah dianugerahkan-NYA. Shalawat serta salam pun senantiasa terlimpah curah kepada Nabi Muhammad saw beserta keluarga, sahabat dan tabi’it-tabi’in hingga kepada kita semua selaku pengikutnya sampai yaumil akhir. Amien InsyaAllah.

Berbicara tentang nikmat, salah satu dari sekian banyak nikmat terbesar yang Allah anugerahkan kepada kita diantaranya ialah nikmat bersilaturrahim. Silaturrahim merupakan nikmat yang terkadang tidak kita sadari manfaatnya baik secara langsung ataupun tidak langsung. Padahal, silaturrahim sendiri merupakan suatu hal yang sifatnya wajib bagi kita yang mengaku sebagai insan sosial. Insan yang menghargai hidup dan makhluk hidup dalam lingkaran kehidupan. Kita dulu dilahirkan, kemudian hidup dan menjalani kehidupan. Hidup tidak hanya untuk beribadah kepada Allah swt, atau bahasa kerennya Hablum minallah saja. Hubungan kita secara vertikal dengan sang Maha Pencipta. Allah menciptakan kita lengkap dengan pernak-perniknya. Tentunya jika kita sadari, sesungguhnya ada alasan lain dibalik penciptaan manusia yang beraneka suku, ras dan warna. Pun dengan keberadaan kita ditengah-tengah makhluk Allah yang beraneka ragam diseluruh dunia. Walaupun memang tujuan Allah menciptakan makhluk-NYA tidak lain dan tidak bukan memang untuk beribadah. Tetapi perlu disadari kembali, ibadah disini masilah bersifat umum maknanya. Dalam Al Qur’an pun Allah tidak hanya menyebutkan shalat_sebagai perwujudan hubungan kita dengan Allah secara langsung_sebagai ibadah utama kita, akan tetapi selalu disambung dengan perintah menunaikan zakat. Dan zakat inilah yang menjadi perwujudan takwa kita kepada Allah melalui kepedulian kita terhadap sesama serta fungsi kita sebagai manusia yang mengasihi manusia lainnya. Intinya, apapun macam aktivitas kita, jika hal demikian disandarkan hanya kepada Allah, insyaAllah semuanya akan bernilai ibadah. Nah, begitu pula dengan aktivitas kita yang satu ini, bersilaturrahim.

 Sudah menjadi hakikat kita sebagai makhluk sosial untuk senantiasa bergaul dengan lingkungan sekitar, bersilaturrahim mengikat tali persaudaraan, agar senantiasa dapat mewujudkan suatu tatanan hidup yang harmonis antar sesama makhluk. Hablum minannaas istilahnya. Suatu hubungan horizontal kita dengan sesama. Bayangkan jika kita sebagai makhluk individu yang tidak pernah mau bersilaturrahim dengan makhluk-makhluk disekitar kita. Niscaya, hidup akan terasa hampa dan menderita. Tidak ada yang peduli dan memperhatikan kita. Di dunia yang luas ini serasa tidak ada tempat untuk kita berbagi permasalahan meskipun hanya sekedar bercerita. Miris jika hal itu benar-benar sampai terjadi. Oleh karenanya, silaturrahim menjadi suatu syarat mutlak kita untuk hidup dan menjadi makhluk hidup di dunia ini. Tanpa berpanjang lebar lagi, berikut akan coba saya ceritakan pengalaman saya terkait hikmah dan manfaat bersilaturahim.

Dimulai dari pulang kampung (mudik). Sedikit berbicara tentang pulang kampung, nampaknya pulang kampung sudah menjadi suatu tradisi dan kewajiban bagi sebagian orang, terutama bagi mereka para pendatang atau para perantau dinegeri orang. Tidak ada batasan waktu sebenarnya bagi mereka yang ingin pulang kampung. Tidak ada syarat khusus pula bagi mereka yang ingin melaksanakan niatan tersebut. Toh pada kenyataannya sah-sah saja bagi mereka yang hendak pulang kampung dihari-hari biasa atau disaat libur pekan sekalipun. Namun, biasanya kebanyakan orang mengagendakan untuk pulang kekampung halamannya ketika hendak menjelang libur Ramadhan tiba. Terutama bagi mereka yang sudah menetap disuatu tempat baru dalam kurun waktu yang cukup lama. Alasan utama mereka untuk pulang kampung biasanya ialah untuk melepas rasa rindu setelah sekian lama tidak bertemu dengan sanak keluarga dikampung, sekaligus silaturahim dengan tetangga atau bahkan bertemu dengan kawan lama semasa TK, SD, SMP maupun SMA.

Berbicara pulang kampung, bagi saya sendiri mudik atau pulang kampung bukanlah hal yang serius untuk diagendakan seperti halnya sebagian orang. Hampir setiap pulang kampung_sampai saat ini pun_saya tidak memiliki cerita-cerita unik, lucu, sedih, atau pahit sekalipun selama perjalanan mudik yang saya lakukan, yang bisa saya bagikan kepada kawan-kawan atau keluarga dirumah. Semuanya berjalan seperti biasa, seiring dengan lalu-lalang pengguna jalan dan perjalanan bus yang saya tumpangi. Ya, mengalir begitu saja. Hampir tiap bulannya atau tiga minggu sekali saya selalu pulang kampung atau lebih sederhananya saya bilang pulang ke rumah. Daerah tempat asal saya tinggal yang tidak cukup jauh dengan daerah yang saya tinggali sekarang ini menjadi alasan utamanya. Saya tinggal di daerah persawahan diutara pantai Tangerang, tepatnya di desa Gintung Kecamatan Sukadiri Kabupaten Tangerang. Sementara selama kuliah, saya tinggal di daerah Babakan Lio (Balio) Kelurahan Balumbang jaya Kabupaten Bogor Barat, tepat di lingkungan sekitar kampus IPB Darmaga tempat dimana saya menuntut ilmu sekarang. Jarak Bogor–Tangerang yang tidak cukup jauh_sekitar tiga sampai empat jam perjalanan_menjadikan mudik hanya sebagai aktivitas dan rutinitas yang biasa-biasa saja, ya nothing special  lah.

Terlepas dari realitas mudik yang saya alami. Silaturahim tahun ini menjadi silaturahim paling berkesan bagi saya. Untuk pertama kalinya saya bisa berkumpul bersama dengan teman-teman saya, teman-teman satu daerah tentunya. Padahal sudah tiga tahun lebih kami kuliah ditempat yang sama. Tapi baru sekali ini kami bisa berkumpul bersama, saling men-jaulah-i tempat tinggal saya dan mereka. Ya, mungkin salah satu penyebabnya karena kesibukan kami masing-masing yang membatasi kesempatan kami untuk berkumpul bersama meski hanya sekedar berbagi cerita dan tawa.

Aang, Aziz, Mulyadi, Roni, Fajar, Syahrir, Cira dan Lina. Mereka adalah teman-teman seperjuangan saya di IPB. Setelah kurang lebih tiga tahun mengenal mereka, baru kemarin saya bisa berkunjung langsung kerumah mereka. Mengetahui kondisi keluarga dan tentunya kondisi ekonomi mereka. Serta yang paling utama adalah dapat mengenal dan menyambung tali silaturahim dengan keluarga mereka. Maklum, daerah saya memang daerah yang memiliki tingkat pendapatan menengah kebawah. Mata pencaharian warga kami pun rata-rata hanya sebagai petani sawah, sisanya buruh pabrik dan tidak sedikit pula dari meraka adalah para pekerja serabutan dan bahkan pengangguran. Walaupun sebenarnya ada juga dari warga kami yang telah “berada” dari segi materi dan tentunya jumlah mereka sudah pasti terhitung oleh jari. Ya, mereka hanya sebagai pencilan dari rataan kondisi ekonomi masyarakat didaerah saya. Diluar kondisi itu semua, saya menemukan suatu kebahagiaan yang mungkin tidak bisa dicari ataupun dibeli hanya dengan bermodalkan materi. Keramahtamahan, kerukunan, dan kesederhanaan serta semangat berbagi mereka menjadi penilaian dan kebanggaan tersendiri bagi saya. Memang benar orang bilang, kebahagiaan itu tidak bisa diukur dengan materi. Materi hanya sebagian kecil dari indikator kebahagiaan, namun bukan menjadi hal yang utama dan diprioritaskan.

Dari teman-teman saya, saya belajar arti sebuah kesederhanaan dan kebersamaan. Hal itu dibuktikan ketika saya berkunjung kerumah mereka satu persatu. Melihat kondisi keluarga dan rumah mereka, jujur saya takjub sekaligus bangga bisa mengenal mereka. Sama sekali tidak ada perasaan minder, malu ataupun sejenisnya terlihat dari wajah mereka, hal itu tertutupi oleh rasa kesyukuran mereka dalam menerima segala karunia dari Allah swt. Dan yang membuat saya lebih bangga lagi adalah tentang kedermawanan mereka. Ternyata, meskipun teman-teman saya hidup serba apa adanya, mereka tetap selalu memprioritaskan dan memuliakan setiap tamu yang datang. Satu pelajaran lagi yang bisa saya ambil hikmahnya. Dari satu rumah kerumah yang lain, pasti selalu disuguhkan makanan. Tidak hanya makanan ringan seperti kue-kue lebaran tapi bahkan makanan berat pun mereka suguhkan. Tak ayal jika sepulang silaturrahim dari rumah teman-teman saya, saya begitu merasa kekenyangan. Jika diawal silaturahim perut saya terasa keroncongan, sepulang silaturahim perut saya malah terasa kekenyangan. Ya, silaturrahim ba’da lebaran memang silaturrahim yang menyenangkan dan mengenyangkan. Alhamdulillah.

Nah kawan, cukup sampai disini sekelumit kisah pribadi yang sedikit-banyak mungkin bisa diambil hikmahnya, baik oleh diri pribadi maupun kawan-kawan sekalian. Benar sekali apa yang diucapkan oleh Nabi, “Silaturrahim mendekatkan kepada Rizki”. Hal ini tentunya sudah saya rasakan sendiri. Indah rasanya jika dunia ini dipenuhi dengan berbagai macam warna. Warna-warni kehidupan tanpa mempermasalahkan setiap perbedaan. Lebih indah lagi jika warna tersebut saling “bersilaturrahim”, saling bersatu membentuk satu kesatuan, saling erat-mengeratkan membentuk indahnya warna pelangi kehidupan. Hingga terpancar semburat warna me-ji-ku-hi-bi-ni-u dalam background  langit biru muda yang berkolaborasi dengan indahnya senyum jingga keemasan sang surya diufuk timur bumi Indonesia. Saya yakin, dan InsyAllah semua itu bisa!


Rabu, 07 Agustus 2013

Sebuah Pengakuan


"Al Insaan huwal makaanul khatta’ wan nishyaan...”
(Manusia adalah tempatnya salah dan lupa)

          Malam ini, masih disini dan masih terjaga. Entah kenapa dinginnya hawa malam dan rasa kantuk yang sedari tadi menggelayuti pelupuk mata, kini terasa hilang begitu saja. Hampir sejam diri ini termenung. Melamun, menerawang, mengawang dalam ruang pikiran. Sambil kedua tangan setia menopang kepala yang seakan terasa berat tertambah beban maksiat. Berat karena berbagai permasalahan ada didalam. Berat memikirkan segala macam amanah yang diemban dengan segala macam pertanggungjawaban, yang kelak diminta dihari pembalasan dihadapan Tuhan. Ada sebongkah permasalahan yang tertanam dalam fikiran, ada segudang perasaan bersalah dalam hati yang terasa semakin membuncah. Rasanya,, sudah biasa jika hal ini muncul tiba-tiba. Tapi, kali ini terasa berbeda, entah dimana letak perbedaanya dengan perasaan sebelumnya. Hingga pada akhirnya, diujung sedih yang semakin menjadi. Berlinanglah buliran air mata, meruah dipuncak lamunan dalam kesunyian malam. Membasahi pipi yang sedari tadi menjadi tumpuan kedua tangan.        

          Sambil air mata ini mengalir, sambil itu pula hati ini senantiasa beristighfar, mengalun pelan diperkuat dengan iringan lagu syahdu nan sendu, “I’tiraf”. Sebuah syair tentang pengakuan (I’tiraf) diri seorang hamba kepada Sang Maha Pencipta atas segala salah dan dosa yang senantiasa diperbuat. Sebuah syair yang dapat membius hati, bahkan menstimulus rasa duka dan hina ketika sang hamba berhadapan dengan Pencipta-Nya. Duka karena belum bisa menjadi hamba yang bertakwa, hina karena senantiasa berbuat dosa. Yaa Allah yaa ‘Aziiz, sungguh lemah hamba dihadapan-Mu, tak kuat diri ini memikul beratnya dosa-dosa hamba.

Ilaahi lastu lilfirdausi ahlan
(Wahai Tuhan, ku tak layak ke Syurga-Mu) 
Walaa aqwaa 'alannaaril jahimi
(Namun aku tidak sanggup ke Neraka-Mu) 
Fahabli taubatan waghfir dzunuubi
(Terimalah taubatku dan ampuni segala dosaku) 
Fa innaka ghoofiruddzambil 'adziimi
(Sesungguhnya Engkaulah pengampun dosa-dosa besar) 

Dzunuubi mitslu a'daadir rimaali
(Dosa-dosaku bagaikan pepasir di pantai) 
Fahablii taubatan yaa dzaljalaali
(Terimalah taubatku Wahai Tuhan yang Maha Tinggi) 
Wa'umrii naaqishun fiikulliyaumi
(Dan usiaku berkurang setiap hari) 
Wa dzambii zaa-idum kaifahtimali
(Dan dosaku pula bertambah setiap masa) 

Ilaahi 'abdukal 'aashi ataak
(Tuhanku, hamba-Mu yang sering melakukan maksiat telah datang kepada-Mu) 
Muqirron biddzunuubi waqod da'aak
(Senantiasa Berbuat dosa, dan sesungguhnya telah berdoa kepada-Mu) 
Fa in taghfir fa anta lidzaaka ahlun
(Jika Kau ampunkan, maka itu hak-Mu) 
Wa in tadrud faman narjuu siwaaka
(Dan jika Kau tinggalkan, maka siapa lagi yang hendak kami harapkan seperti-Mu)

          Meresapi syair, memaknai arti diri disetiap dzikir. Sungguh... Seketika itu pula diri ini terdiam, dan tiba-tiba terbesit dalam fikiran, “Bagaimana jika malam ini adalah malam terakhir hamba? Sementara diri ini masih senantiasa berbuat dosa?” Umur yang semakin berkurang, namun dosa-dosa malah semakin bertambah. Ya Allah, begitu bergelimangannya dosa yang telah hamba lakukan. Dosa-dosa kepada-Mu maupun kepada sesama makhluk-Mu. Sementara diri ini masih belum bisa bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat, memohon ampun kepada-Mu dan kepada seluruh makhluk-Mu yang pernah tersakiti maupun disakiti, baik fisiknya, fikirannya atau bahkan hatinya.

          Akhii... Ukhtiii... Sahabat sekalian, rasanya banyak sekali kealpaan yang telah diri ini lakukan. Sakit yang kalian derita atas tingkah dan laku diri ini mungkin sudah tak tertahankan lagi. Pilu yang menyayat qolbu atas ucapan yang pernah terlontar mungkin saja sudah terobati, tapi bekas luka yang timbul mungkin tak kan pernah hilang, sampai kapanpun. Oleh karenanya, diri ini menghaturkan maaf sedalam qolbu. Sebagaimana diri ini pernah pula menanam luka didalam qolbu.

"Pintu ampunan Allah akan senantiasa terbuka bagi hamba-hambanya yang bertaubat atas segala maksiat yang telah diperbuat."

          Namun, sangat diri ini sadari bahwa ampunan Allah takkan sampai kehadapan, jika kalian tak memaafkan. Karena keikhlasan kalian dalam memaafkan adalah kunci diri ini mendapat ampunan. Maafkan dari segala khilaf dan salah wahai sahabat sekalian, atas segala dosa yang telah diri ini lakukan. Sesal yang timbul bukan karena mengenal kalian, tapi karena diri ini tak pandai memanfaatkan kesempatan. Kesempatan untuk membahagiakan kalian, walau hanya sekedar melihat senyuman dari wajah kalian.


'Afwan.....
Sabtu, 1:30 am
Sya'ban 20, 1434 H

World Clock